Rabu, 21 Oktober 2015

PRODUKSI ASETON MENGGUNAKAN BAKTERI Bacillus maserans

TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH MIKROBIOLOGI INDUSTRI

PRODUKSI ASETON MENGGUNAKAN BAKTERI Bacillus maserans




 













Oleh
Sovia Dewi Indriati   : B1J007030
Winda Widiarti         : B1J007034
Diah Asta Putri         : B1J007035







KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2010
PENDAHULUAN
Seiring dengan kemajuan di bidang bioteknologi, ternyata definisi proses fermentasi telah berkembang tidak hanya diartikan sebagai suatu proses pembentukan energi oleh katabolisme senyawa organik, akan tetapi istilah fermentasi telah didefinisikan cukup luas, yakni suatu proses pembentukan suatu produk yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dengan bantuan jasa mikroorganisme. Salah satu kelompok produk hasil proses fermentasi yang akhir-akhir ini mendapat perhatian para peneliti adalah senyawa produk dalam bentuk senyawa-senyawa intermediet atau senyawa metabolit (microbial metabolites).
Aseton dikenal sebagai propanon, dimetil keton, 2-propanon, propan-2-on, dimetilformaldehida, dan β-ketopropana, adalah senyawa berbentuk cairan yang tidak berwarna dan mudah terbakar. Aseton merupakan keton yang paling sederhana. Aseton larut dalam berbagai perbandingan dengan air, etanol, dietil eter,dll. Ia sendiri juga merupakan pelarut yang penting. Aseton digunakan untuk membuat plastik, serat, obat-obatan, dan senyawa-senyawa kimia lainnya. Selain dimanufaktur secara industri, aseton juga dapat ditemukan secara alami, termasuk pada tubuh manusia dalam kandungan kecil (Wikipedia, 2009).
Aseton sering kali merupakan komponen utama (atau tunggal) dari cairan pelepas cat kuku. Aseton juga digunakan sebagai pelepas lem super, juga dapat digunakan untuk mengencerkan dan membersihkan resin kaca serat dan epoksi. Aseton dapat melarutkan berbagai macam plastik dan serat sintetis, sangat baik digunakan untuk mengencerkan resin kaca serat, membersihkan peralatan kaca gelas, dan melarutkan resin epoksi dan lem super sebelum mengeras. Selain itu, aseton sangatlah efektif ketika digunakan sebagai cairan pembersih dalam mengatasi tinta permanen. Oleh karena polaritas aseton yang menengah, ia melarutkan berbagai macam senyawa. Sehingga ia umumnya ditampung dalam botol cuci dan digunakan sebagai untuk membilas peralatan gelas laboratorium. Walaupun mudah terbakar, aseton digunakan secara ekstensif pada proses penyimpanan dan transpor asetilena dalam industri pertambangan. Bejana yang mengandung bahan berpori pertama-tama diisi dengan aseton, kemudian asetilena, yang akan larut dalam aseton (Wikipedia, 2009).
Aseton dibuat secara langsung maupun tidak langsung dari propena. Secara umum, melalui proses kumena, benzena dialkilasi dengan propena dan produk proses kumena (isopropilbenzena) dioksidasi untuk menghasilkan fenol dan aseton: C6H5CH(CH3)2 + O2 → C6H5OH + OC(CH3)2. Konversi tersebut  terjadi melalui zat antara kumena hidroperoksida, (C6H5C(OOH)(CH3)2). Aseton juga diproduksi melalui propena yang dioksidasi langsung dengan menggunakan katalis Pd(II)/Cu(II), mirip seperti 'proses wacker'. Dahulu, aseton diproduksi dari distilasi kering senyawa asetat, misalnya kalsium asetat. Selama perang dunia I, sebuah proses produksi aseton dari fermentasi bakteri dikembangkan oleh Chaim Weizmann dalam rangka membantu Britania dalam usaha perang. Proses ini kemudian ditinggalkan karena rendahnya aseton butanol yang dihasilkan (Wikipedia, 2009).
Ada beberapa sumber biologik aseton yang telah dikenal. Di antaranya sudah dikarakterisasi dengan baik, yang meliputi dekarboksilasi enzimatik dari asetoasetat pada bakteri tertentu dan dekarboksilasi non-enzimatik dari asetoasetat pada hewan. Bakteri yang telah dikenal memproduksi aseton adalah berbagai bakteri anaerobik, di antaranya Clostridium acetobutylicum yang digunakan untuk memproduksi aseton secara komersial (Naim, 2003).
Bakteri lain adalah bakteri aerobik yang memproduksi sejumlah kecil aseton sebagai metabolic by-product, contohnya adalah beberapa strain Streptococcus cremoris dan Streptococcus lactis bila dibiakkan dalam skim milk. Strain Brevibacterium linens menghasilkan sejumlah senyawa karbonil volatil termasuk aseton bila dibiakkan dalam larutan casein; pembentukan aseton akan distimulasi oleh asam-asam amino yang meliputi asam aspartat, asam glutamat, dan leusin (naim, 2003).
Selain bakteri yang telah disebutkan di atas, bakteri yang telah diisolasi dari air laut oleh Nemecek-Marshall dan kelompoknya dari University of Colorado yaitu Vibrio sp, juga mampu menghasilkan aseton sebagai produk utama bila dibiakkan dalam media yang mengandung L-leusin. Aseton merupakan produk utama pada kultur marine-Vibrio (Naim, 2003).
Degradasi leusin telah dideteksi pada sebagian kecil bakteri, seperti Pseudomonas aeruginosa yang menggunakan jalur katabolik leusin yang mirip dengan jalur katabolik leusin pada jaringan hewan, di mana leusin akan dikonversi menjadi asetoasetat dan asetil koenzim A. Pada jaringan hewan, leusin dianggap sebagai asam amino yang bersifat ketogenik karena asetoasetat selanjutnya akan didegradasi secara non-enzimatik untuk menghasilkan aseton.
Pada kondisi tertentu Bacillus macerans mampu memproduksi aseton dan etanol dengan memanfaatkan berbagai macam senyawa karbohidrat. Aseton diproduksi oleh sel dengan kecepatan tumbuh rendah (Bachrudin, 1992). Baru sedikit penelitian yang dilakukan dengan memanfaatkan mikroba ini.. Tujuan dari makalah ini adalah berupaya mengetahui pemanfaataan Bacillus macerans untuk memproduksi aseton.






















PEMBAHASAN
Enzim yang dihasilkan oleh Bacillus macerans diantaranya adalah siklodekstrin glukanotransferase (CGTase) dan α-amilase. Enzim α-amilase mampu menghidrolisis pati menjadi glukosa dan maltosa. Sedangkan CGTase selain mampu menghidrolisis pati juga mampu melakukan aktivitas transglikosilasi yaitu melakukan pemindahan gugus glukosil hasil hidrolisis pati pada akseptor yang sesuai (Astuty, 2001).
Berdasarkan kinetika pertumbuhan serta perilaku kultur, senyawa-senyawa metabolit dapat digolongkan berdasarkan tipe fase pertumbuhan sel yang memproduksinya. Faktor penting yang mempengaruhi perkembangan proses fermentasi produk-produk senyawa intermediet pada dasarnya dibagi menjadi dua faktor i) faktor teknis, meliputi tipe proses fermentasi, proses persiapan penyediaan substrat, dan teknologi pascapanen, ii) faktor biologis, terdiri tipe mikroorganisme, efisiensi kemampuan mengubah substrat menjadi produk, dan daya tahan karena adanya penghambatan produk.
Dalam fermentasi kontinyu larutan nutrien steril dalam volum tertentu ditambahkan ke dalam fermentor secara terus-menerus dan pada saat bersamaan cairan fermentasi yang mengandung sel dan produk-produk fermentasi dikeluarkan dari fermentor dengan volum yang sama. Penambahan medium baru dengan kecepatan tertentu dapat menghasilkan keadan steady state, yaitu keadaan dimana jumlah sel-sel yang terbentuk sama dengan jumlah sel-sel yang dikeluarkan dari fermentor (Sulistyaningrum, 2008).
Stanbury dan Whitaker (1987) menyatakan bahwa tujuan dari proses kontinyu fermentasi adalah memisahkan dua tahap fermentasi dengan kondisi yang berbeda. Tipe proses fermentasi merupakan faktor penting dalam keberhasilan fermentasi, terutama dalam skala industri. Monot dan Engasser (1983) menyatakan bahwa proses produksi aseton dan butanol dapat ditingkatkan efisiensinya dengan melakukan proses fermentasi secara kontinyu. Godin dan Engasser (1988) lebih lanjut menyatakan bahwa dengan fermentasi kontinyu telah berhasil mendapatkan nilai produktivitas sebesar 0,75 g/l/jam.
            Mikroorganisme yang digunakan adalah Bacillus macerans, NCTC 1068, fakultatif bakteri. Sedangkan medium yang digunakan didasarkan pada metode Lovitt (1987) mempunyai komposisi yaitu : dalam satu liter, K2HPO4 30 g; NH4Cl 2,50 g; MgSO4 0,2 g; glukosa 50 g; yeast extract 2 g; larutan mineral 10 ml.
            Fermentasi kontinyu bertahap didasarkan pada metode (Bachrudin 1992) : Sistim kontinyu bertahap pada dasarnya mempunyai prinsip yang sama dengan proses simple kontinyu fermentasi, hanya saja sistem tersebut dilengkapi dengan dua buah fermenter. Fermenter pertama dengan volume 500 ml, sedangkan fermenter kedua mempunyai volume sebesar 4800 ml. Kedua fermenter dilengkapi dengan sistim pengatur pH, anti foam, temperatur medium, dan saluran masuk dan keluarnya gas.
            Sebelum sistim fermentasi kontinyu bertahap dijalankan layaknya pada sistim kontinyu fermentasi, pertama-tama kedua fermenter diperlakukan seperti pada batch kultur untuk mendapatkan kultur dengan kondisi tumbuh yang baik (pada akhir fase eksponensial). Perlakuan ini kira-kira memerlukan waktu 12 jam.
Medium steril yang segar dialirkan dengan menggunakan pompa bertekanan ke fermenter pertama. Medium dari fermenter pertama kemudian secara grafitasi mengalir ke fermenter kedua. Kedua fermenter diinokulasi dengan kadar inokulum sebesar 10% dari total medium. Medium dalam fermenter dipertahankan dalam kondisi anaerobik dengan menggunakan gas nitrogen bebas oksigen. Pada Fermenter I dan II, pH medium dikontrol pada pH 6, temperatur inkubasi 44o C, dan kecepatan penambahan gas N2 bebas O2 sebesar 100 ml/ menit.
            Penelitian oleh Bachrudin (1992) menunjukkan hasil yang diperoleh pada fermenter I, selain sel atau biomassa tumbuh dengan baik, sel memproduksi asam asetat dalam jumlah relatif tinggi dibanding pada fermenter II. Berbeda dengan fermenter I sel pada fermenter II, mampumemproduksi etanol dan aseton dengan memanfaatkan sisa glukosa dan asam asetat. Produksi solven pada fermenter II menjadi cukup tinggi, kira-kira 5 kali untuk aseton. Dari hasil ini maka fermentasi bertahap dapat memisahkan fase asidogenik, yang ditandai dengan kenaikan biomassa, produksi asetat tinggi, dengan fase solventogenik, ditandai dengan produksi aseton dan etanol pada kadar yang tinggi.
            Menurut Lestari (2009), seperti halnya industri lain, industri pengolahan tepung tapioka mempunyai efek samping berupa limbah cair dan padat. Limbah cair tersebut berasal dari proses pencucian bahan baku penyaringan bubur singkong dan pengendapan pati. Telah disebutkan di atas bahwa Bacillus macerans mampu hidup dan menghasilakn aseton dengan memanfaatkan berbagai senyawa karbohidrat dalam media. Oleh karena itu untuk keperluan industri mungkin dapat digunakan limbah cair yang mengandung kadar karbohidrat sebagai nutrisi untuk hidup mikroba ini. Limbah cair tapioka misalnya, dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan aseton dengan menggunakan isolat bakteri Bacillus macerans. Sehingga limbah yang tidak bermanfaat menjadi memilki nilai jual dan juga mangurangi dampak buruk pada lingkungan.


KESIMPULAN
            Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa produksi aseton dapat dilakukan menggunakan isolat Bacillus macerans melalui metode fermentasi kontinyu bertahap. Sedangkan medium alternatif yang mungkin dapat digunakan adalah limbah cair yang berasal dari industri tapioka.













DAFTAR PUSTAKA
Astuty, D. 2001.Aktivitas Mutagenesis Isoflavon Glikosida Hasil Reaksi Tansglikosilasi oleh Siklodekstrin Glukanotransferase dari Bacillus macerans. Skripsi. Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor. Bogor
Bachrudin, Z. 1992. Analisis Kontinyu Fermentasi Bertahap : Pembentukan Asetat, Aseton dan Etanol oleh Bacillus macerans sebagai Model. Buletin Peternakan Vol. 16. ISSN 0126-4400.
Godin, C., and J.M Engasser. 1990. Two-stage Continuous Fermentation Of Clostridium acetobutylicum: Effects of pH and Dilution Rate. Appl. Microbiol. Biotechnol. 33: 269-273
Lestari, T.D. 2009. Kadar Bioetanol Limbah Tapioka Padat Kering dengan Penambahan Ragi dan lama Fermentasi yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univ. Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Lovitt, R.W, D.B. Kell and J.G Morris. 1987. The Physiology of Clostridium sporogenes Growing in Defined Media. J. Appl. Bacterial 62: 81-92
Monot, F and . J.M Engasser. 1983. Continuous Production of Acetone, Butanol on an Optimized Synthetic Medium. Eur. J. Appl. Microbiol. Biotechnol. 18: 246- 248.
Naim, R. 2003. Marine Vibrio Pembentuk Senyawa Organik Volatil Aseton. http:// chem-is-try.org. Diakses tanggal 15 Mei 2010.s
Stanbury, P.F and A. Whiteaker. 1987. Principles of Fermentation Technology. Pergansom Press.
Sulistyaningrum, L. C. 2008. Optimasi Fermentasi. Skripsi. Fakultas MIPA Universitas Indonesia.
Wikipedia. 2009. http:// wikipedia.co.id. Diakses tanggal 15 Mei 2010.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar