TUGAS
TERSTRUKTUR
MATA
KULIAH MIKROBIOLOGI INDUSTRI
PRODUKSI
ASETON MENGGUNAKAN BAKTERI Bacillus
maserans
![]() |
Oleh
Sovia Dewi Indriati : B1J007030
Winda Widiarti : B1J007034
Diah Asta Putri : B1J007035
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
BIOLOGI
PURWOKERTO
2010
PENDAHULUAN
Seiring dengan
kemajuan di bidang bioteknologi, ternyata definisi proses fermentasi telah
berkembang tidak hanya diartikan sebagai suatu proses pembentukan energi oleh
katabolisme senyawa organik, akan tetapi istilah fermentasi telah didefinisikan
cukup luas, yakni suatu proses pembentukan suatu produk yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi dengan bantuan jasa mikroorganisme. Salah satu kelompok produk
hasil proses fermentasi yang akhir-akhir ini mendapat perhatian para peneliti
adalah senyawa produk dalam bentuk senyawa-senyawa intermediet atau senyawa
metabolit (microbial metabolites).
Aseton dikenal sebagai propanon, dimetil keton,
2-propanon, propan-2-on, dimetilformaldehida, dan β-ketopropana,
adalah senyawa berbentuk cairan yang tidak berwarna dan mudah terbakar. Aseton merupakan
keton yang paling
sederhana. Aseton larut dalam berbagai perbandingan dengan air, etanol, dietil eter,dll.
Ia sendiri juga merupakan pelarut yang penting. Aseton digunakan untuk membuat plastik, serat,
obat-obatan, dan senyawa-senyawa kimia lainnya. Selain dimanufaktur secara
industri, aseton juga dapat ditemukan secara alami, termasuk pada tubuh manusia
dalam kandungan kecil (Wikipedia, 2009).
Aseton sering kali merupakan komponen utama
(atau tunggal) dari cairan pelepas cat kuku. Aseton juga digunakan sebagai
pelepas lem super, juga dapat digunakan
untuk mengencerkan dan membersihkan resin kaca serat dan epoksi. Aseton dapat
melarutkan berbagai macam plastik dan serat sintetis, sangat baik digunakan
untuk mengencerkan resin kaca serat, membersihkan peralatan kaca gelas, dan
melarutkan resin epoksi
dan lem super sebelum mengeras. Selain
itu, aseton sangatlah efektif ketika digunakan sebagai cairan pembersih dalam
mengatasi tinta permanen. Oleh karena polaritas aseton yang menengah, ia
melarutkan berbagai macam senyawa. Sehingga ia umumnya ditampung dalam botol
cuci dan digunakan sebagai untuk membilas peralatan gelas laboratorium. Walaupun
mudah terbakar, aseton digunakan secara ekstensif pada proses penyimpanan dan
transpor asetilena
dalam industri pertambangan. Bejana yang mengandung bahan berpori pertama-tama
diisi dengan aseton, kemudian asetilena, yang akan larut dalam aseton
(Wikipedia, 2009).
Aseton dibuat secara langsung maupun
tidak langsung dari propena. Secara umum, melalui proses kumena, benzena
dialkilasi dengan propena dan produk proses kumena (isopropilbenzena)
dioksidasi untuk menghasilkan fenol dan aseton: C6H5CH(CH3)2
+ O2 → C6H5OH + OC(CH3)2.
Konversi tersebut terjadi melalui zat
antara kumena hidroperoksida, (C6H5C(OOH)(CH3)2).
Aseton juga diproduksi melalui propena yang dioksidasi langsung dengan
menggunakan katalis Pd(II)/Cu(II), mirip seperti 'proses wacker'. Dahulu, aseton
diproduksi dari distilasi kering senyawa asetat,
misalnya kalsium asetat. Selama perang dunia
I, sebuah proses produksi aseton dari fermentasi
bakteri
dikembangkan oleh Chaim Weizmann dalam rangka membantu Britania
dalam usaha perang. Proses ini kemudian ditinggalkan karena rendahnya aseton butanol yang dihasilkan
(Wikipedia, 2009).
Ada beberapa sumber
biologik aseton yang telah dikenal. Di antaranya sudah dikarakterisasi dengan
baik, yang meliputi dekarboksilasi enzimatik dari asetoasetat pada bakteri
tertentu dan dekarboksilasi non-enzimatik dari asetoasetat pada hewan. Bakteri
yang telah dikenal memproduksi aseton adalah berbagai bakteri anaerobik, di
antaranya Clostridium acetobutylicum
yang digunakan untuk memproduksi aseton secara komersial (Naim, 2003).
Bakteri lain adalah
bakteri aerobik yang memproduksi sejumlah kecil aseton sebagai metabolic by-product, contohnya adalah
beberapa strain Streptococcus cremoris dan Streptococcus lactis bila
dibiakkan dalam skim milk. Strain Brevibacterium linens menghasilkan sejumlah senyawa karbonil
volatil termasuk aseton bila dibiakkan dalam larutan casein; pembentukan aseton
akan distimulasi oleh asam-asam amino yang meliputi asam aspartat, asam
glutamat, dan leusin (naim, 2003).
Selain bakteri yang
telah disebutkan di atas, bakteri yang telah diisolasi dari air laut oleh
Nemecek-Marshall dan kelompoknya dari University of Colorado yaitu Vibrio sp, juga mampu menghasilkan
aseton sebagai produk utama bila dibiakkan dalam media yang mengandung
L-leusin. Aseton merupakan produk utama pada kultur marine-Vibrio (Naim, 2003).
Degradasi leusin telah
dideteksi pada sebagian kecil bakteri, seperti Pseudomonas aeruginosa yang menggunakan jalur
katabolik leusin yang mirip dengan jalur katabolik leusin pada jaringan hewan,
di mana leusin akan dikonversi menjadi asetoasetat dan asetil koenzim A. Pada
jaringan hewan, leusin dianggap sebagai asam amino yang bersifat ketogenik
karena asetoasetat selanjutnya akan didegradasi secara non-enzimatik untuk
menghasilkan aseton.
Pada kondisi tertentu Bacillus macerans mampu memproduksi aseton
dan etanol dengan memanfaatkan berbagai macam senyawa karbohidrat. Aseton
diproduksi oleh sel dengan kecepatan tumbuh rendah (Bachrudin, 1992). Baru
sedikit penelitian yang dilakukan dengan memanfaatkan mikroba ini.. Tujuan dari
makalah ini adalah berupaya mengetahui pemanfaataan Bacillus macerans untuk memproduksi aseton.
PEMBAHASAN
Enzim yang dihasilkan
oleh Bacillus macerans diantaranya
adalah siklodekstrin glukanotransferase (CGTase) dan α-amilase. Enzim α-amilase
mampu menghidrolisis pati menjadi glukosa dan maltosa. Sedangkan CGTase selain
mampu menghidrolisis pati juga mampu melakukan aktivitas transglikosilasi yaitu
melakukan pemindahan gugus glukosil hasil hidrolisis pati pada akseptor yang
sesuai (Astuty, 2001).
Berdasarkan kinetika
pertumbuhan serta perilaku kultur, senyawa-senyawa metabolit dapat digolongkan berdasarkan
tipe fase pertumbuhan sel yang memproduksinya. Faktor penting yang mempengaruhi
perkembangan proses fermentasi produk-produk senyawa intermediet pada dasarnya
dibagi menjadi dua faktor i) faktor teknis, meliputi tipe proses fermentasi,
proses persiapan penyediaan substrat, dan teknologi pascapanen, ii) faktor
biologis, terdiri tipe mikroorganisme, efisiensi kemampuan mengubah substrat
menjadi produk, dan daya tahan karena adanya penghambatan produk.
Dalam fermentasi
kontinyu larutan nutrien steril dalam volum tertentu ditambahkan ke dalam
fermentor secara terus-menerus dan pada saat bersamaan cairan fermentasi yang
mengandung sel dan produk-produk fermentasi dikeluarkan dari fermentor dengan
volum yang sama. Penambahan medium baru dengan kecepatan tertentu dapat
menghasilkan keadan steady state, yaitu keadaan dimana jumlah sel-sel yang
terbentuk sama dengan jumlah sel-sel yang dikeluarkan dari fermentor (Sulistyaningrum,
2008).
Stanbury dan Whitaker
(1987) menyatakan bahwa tujuan dari proses kontinyu fermentasi adalah
memisahkan dua tahap fermentasi dengan kondisi yang berbeda. Tipe proses
fermentasi merupakan faktor penting dalam keberhasilan fermentasi, terutama dalam
skala industri. Monot dan Engasser (1983) menyatakan bahwa proses produksi
aseton dan butanol dapat ditingkatkan efisiensinya dengan melakukan proses
fermentasi secara kontinyu. Godin dan Engasser (1988) lebih lanjut menyatakan
bahwa dengan fermentasi kontinyu telah berhasil mendapatkan nilai produktivitas
sebesar 0,75 g/l/jam.
Mikroorganisme
yang digunakan adalah Bacillus macerans,
NCTC 1068, fakultatif bakteri. Sedangkan medium yang digunakan didasarkan pada
metode Lovitt (1987) mempunyai komposisi yaitu : dalam satu liter, K2HPO4
30 g; NH4Cl 2,50 g; MgSO4 0,2 g; glukosa 50 g;
yeast extract 2 g; larutan mineral 10 ml.
Fermentasi
kontinyu bertahap didasarkan pada metode (Bachrudin 1992) : Sistim kontinyu
bertahap pada dasarnya mempunyai prinsip yang sama dengan proses simple
kontinyu fermentasi, hanya saja sistem tersebut dilengkapi dengan dua buah
fermenter. Fermenter pertama dengan volume 500 ml, sedangkan fermenter kedua
mempunyai volume sebesar 4800 ml. Kedua fermenter dilengkapi dengan sistim
pengatur pH, anti foam, temperatur medium, dan saluran masuk dan keluarnya gas.
Sebelum
sistim fermentasi kontinyu bertahap dijalankan layaknya pada sistim kontinyu
fermentasi, pertama-tama kedua fermenter diperlakukan seperti pada batch kultur
untuk mendapatkan kultur dengan kondisi tumbuh yang baik (pada akhir fase
eksponensial). Perlakuan ini kira-kira memerlukan waktu 12 jam.
Medium steril yang segar dialirkan
dengan menggunakan pompa bertekanan ke fermenter pertama. Medium dari fermenter
pertama kemudian secara grafitasi mengalir ke fermenter kedua. Kedua fermenter
diinokulasi dengan kadar inokulum sebesar 10% dari total medium. Medium dalam
fermenter dipertahankan dalam kondisi anaerobik dengan menggunakan gas nitrogen
bebas oksigen. Pada Fermenter I dan II, pH medium dikontrol pada pH 6,
temperatur inkubasi 44o C, dan kecepatan penambahan gas N2
bebas O2 sebesar 100 ml/ menit.
Penelitian
oleh Bachrudin (1992) menunjukkan hasil yang diperoleh pada fermenter I, selain
sel atau biomassa tumbuh dengan baik, sel memproduksi asam asetat dalam jumlah
relatif tinggi dibanding pada fermenter II. Berbeda dengan fermenter I sel pada
fermenter II, mampumemproduksi etanol dan aseton dengan memanfaatkan sisa
glukosa dan asam asetat. Produksi solven pada fermenter II menjadi cukup
tinggi, kira-kira 5 kali untuk aseton. Dari hasil ini maka fermentasi bertahap
dapat memisahkan fase asidogenik, yang ditandai dengan kenaikan biomassa,
produksi asetat tinggi, dengan fase solventogenik, ditandai dengan produksi aseton
dan etanol pada kadar yang tinggi.
Menurut
Lestari (2009), seperti halnya industri lain, industri pengolahan tepung
tapioka mempunyai efek samping berupa limbah cair dan padat. Limbah cair
tersebut berasal dari proses pencucian bahan baku penyaringan bubur singkong
dan pengendapan pati. Telah disebutkan di atas bahwa Bacillus macerans mampu hidup dan menghasilakn aseton dengan
memanfaatkan berbagai senyawa karbohidrat dalam media. Oleh karena itu untuk
keperluan industri mungkin dapat digunakan limbah cair yang mengandung kadar
karbohidrat sebagai nutrisi untuk hidup mikroba ini. Limbah cair tapioka
misalnya, dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan aseton dengan menggunakan
isolat bakteri Bacillus macerans.
Sehingga limbah yang tidak bermanfaat menjadi memilki nilai jual dan juga
mangurangi dampak buruk pada lingkungan.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa produksi aseton dapat
dilakukan menggunakan isolat Bacillus
macerans melalui metode fermentasi kontinyu bertahap. Sedangkan medium
alternatif yang mungkin dapat digunakan adalah limbah cair yang berasal dari
industri tapioka.
DAFTAR
PUSTAKA
Astuty,
D. 2001.Aktivitas Mutagenesis Isoflavon Glikosida Hasil Reaksi Tansglikosilasi
oleh Siklodekstrin Glukanotransferase dari Bacillus
macerans. Skripsi. Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor. Bogor
Bachrudin,
Z. 1992. Analisis Kontinyu Fermentasi Bertahap : Pembentukan Asetat, Aseton dan
Etanol oleh Bacillus macerans sebagai
Model. Buletin Peternakan Vol. 16. ISSN 0126-4400.
Godin,
C., and J.M Engasser. 1990. Two-stage Continuous Fermentation Of Clostridium acetobutylicum: Effects of
pH and Dilution Rate. Appl. Microbiol. Biotechnol. 33: 269-273
Lestari,
T.D. 2009. Kadar Bioetanol Limbah Tapioka Padat Kering dengan Penambahan Ragi
dan lama Fermentasi yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Univ. Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Lovitt,
R.W, D.B. Kell and J.G Morris. 1987. The Physiology of Clostridium sporogenes
Growing in Defined Media. J. Appl. Bacterial 62: 81-92
Monot,
F and . J.M Engasser. 1983. Continuous Production of Acetone, Butanol on an
Optimized Synthetic Medium. Eur. J. Appl. Microbiol. Biotechnol. 18: 246- 248.
Naim,
R. 2003. Marine Vibrio Pembentuk Senyawa Organik Volatil Aseton. http:// chem-is-try.org.
Diakses tanggal 15 Mei 2010.s
Stanbury,
P.F and A. Whiteaker. 1987. Principles of Fermentation Technology. Pergansom
Press.
Sulistyaningrum,
L. C. 2008. Optimasi Fermentasi. Skripsi. Fakultas MIPA Universitas Indonesia.
Wikipedia.
2009. http:// wikipedia.co.id. Diakses tanggal 15 Mei 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar