Sesakit apapun, jangan pernah cinta ini menjadi nyata. Hanya karena tak ingin semua berakhir sia-sia. Biarlah menjadi mimpi, jika itu akhirnya.
Kubuka jendela di pagi hari. Kupandangi langit yang luas tak terbatas. Kuraba hati, kembali. Mencoba mengais apa yang tersisa dari perjalanan kalam batin, enam bulan terakhir ini. Betapa susahnya menyelami hati yang seluas langit itu. Hati pun punya ruangan tak terbatas. Segalanya menjadi esa dalam sebuah medan; menggumpal dan berdesakan lalu meletuplah aneka rasa. Gelisah, kesendirian, kesunyian, duka, lara, hampa, derita, bahagia, kangen, rindu, cinta, dan segala macam istilah; menggores cerita tak habis-habis. Berderai tak ubahnya mata langit yang meneteskan hujan.
Pagi membawa pesan-pesan baru dari semesta. Udara yang diam begitu indah menghadirkan bola dengan kemuning sinarnya.
Pagiku dulu dan kini, tak ada bedanya. Hanya ruang dan waktu yang membuatnya jadi sedikit berbeda. Pagiku kini pun kuarungi dengan gulungan cerita demi cerita yang setiap saat selalu membentuk gugusan baru. Pagiku pun tak ada capainya memotret kisah rindu dan cinta yang kubangun dan kujaga untuk seorang ......
Siapa yang memulai kisah itu? Yang pasti, akulah orangnya. Tapi aku pun tak pernah memaksa memulainya, semua berjalan tanpa rencana. Setiap kubuka jendela dan kulihat matahari di pagi hari selalu ada getarmu yang hinggap. Hilang rasanya tak mungkin aku mengakhiri kisah itu. Hatiku telah terenggut habis hingga ke akar-akarnya.
Lewat kata-kata yang luruh di ratusan kertas putih, aku menumpahkan sepenggal kisah itu. Bagaimana mungkin aku akan mengakhiri kisah itu sementara pencarianku masih terus berjalan. Meski tangan ini mulai tertatih menulis tentangmu, kisah itu belum juga menemui titik pengakhirannya.
Kalau kini kembali aku menuliskan kisah itu, tak lain bersumber dari perjalanan pencarianku yang semakin menemui catatan-catatan baru tentangmu, tentang kita berdua. Masih saja gelisah, rindu, dan cinta ini menengahi langit dengan aneka warna, mengecup kebisuan, membungkam cakrawala dengan sejuta tanya, tanpa jawab. Ternyata, masih banyak cerita yang tertinggal dan tapak-tapak baru yang menjejak tegas dalam lelahnya penembaraanku. Dalam kisah itu, tertulis kenangan yang luruh di langit dan bumi. Aku ingin terus mencatat setiap detik kutipan cerita yang tertoreh, tanpa terkecuali. Terlalu indah melewatkan setiap gelisah yang hadir, setiap rindu yang mengetuk-ngetuk di balik temaram senja dan setiap cinta yang mengalir di hentakan nafas.
Kenangan itu mungkin saja hanya ilusi atau bahkan mimpi belaka. Aku tak peduli. Aku akan terus menjaring mimpi. Mimpi menjadi kekasihmu, yang setia dan selamanya berada dalam payung mata beningmu. Rebah dan terbaring manja di permadani hatimu, tersenyum, dan menangis di sudut bibirmu, mengabdi pada cintamu, satu.
Aku tak berdaya untuk menghapus apapun tentangmu. Aku tetap dan akan selalu menikmati semua yang ada padamu. Mungkin warasku telah menemui titik ketiadaannya. Tapi biarkan saja, semua itu tak akan mengubah apapun. Sebaris waktu bersamamu menjadi pahatan terindah dalam perjalanan hidupku. Dan itu membuatmu menjadi malaikatku, seutuh-utuhnya, segala-galanya.
Aku terlanjur sakau akanmu. Sesakau inginku untuk mengakhiri kisah ini dengan pengakhiran yang membahagiakan. Itulah mimpiku. Pilihan tetaplah sebuah pilihan. Seperti juga aku ingin memilih pengakhiran yang membahagiakan untuk menjadi titik muara dari kesakauanku. Biarlah sakau ini terus menguntit di jejak hari-hariku, menggeser tiap inci logika nalarku. Aku rela dan akan tetap menjaganya seperti janji pepohonan yang setia selamanya meneduhi alam.
Satu-satunya kesalahanku adalah mencintaimu
Apakah kau hanya desir
Yang sekejap menampar wajahku?
Apakah kau hanya getar
Yang sekelebat hinggap di dadaku?
Apakah kau hanya ilusi
Yang merobek khayalku?
Apakah kau benar-benar kau
Yang menjungkirbalikkan warasku?
Kau hanya kau
Apakah hanya apakah
Kau hanya
Hanya kau, ternyata
Batapa agung karunia cinta
Melelehkan pongah hati
Menyemaikan ruh nurani
Syukur padaMu, Tuhan
Untuk setiap napas yang Kau berikan
Hingga aku masih bisa mengeja namaMu
Damaikan aku
Dalam rengkuhan kasihMu
Selamanya
Untuk segalanya Tuhan
Aku mengucap syukur padaMu
Indah malam ini meniupkan hawa harum ikal mayang rambutmu
Sungguh, mendung mendesah dibuai tarian awan yang malu-malu
Belum lagi gerimis yang mengintip di setiap senggang waktu
Di mana adamu, ...ku?
Mengapa kau bersembunyi di balik mendung yang mengepung ruangmu
Aku ingin melihat rona wajahmu memancar cerah
Menghadirkan gerah hingga kubisa berlari dengan peluh untuk merengkuhmu
Di mana adamu?
Mengapa kau tak ada di sini, di saat aku tak lagi mampu mengusir bayangan semumu. Mengapa kau tak seenak saja, melewatkan detik-detik mendebarkan ini dengan menyanyikan kidung cinta, bersama. Andai kau ada di sini, aku akan berikan satu kenangan terindah dalam hidupmu. Andai oh andai. Ketiadaanmu jualah, yang akhirnya kembali mengusungku dalam persenggamaan angan tanpa batas untuk mencipta bayangmu lagi.
Aku mencetak wajahmu
Dalam tepekurku
Sebuah pesona sederhana
Menjadi karya terindah
Di kekagumanku yang polos
Sesederhana cintaku
Yang mendadak mengecupmu
Di manakah bisa kucari
Sejatinya dirimu
Yang masih saja bisu
Di manakah bisa kutemukan
Sejujurnya hatimu
Yang masih serupa warna-warni pelangi
Biru, kuning, putih, abu-abu
Warna mana yang akan kudapat?
Aku ingin biru sayang
Biar membirukan hatiku
Membirukan cintaku
Tirai itu
Masih saja menutupi ruang hatimu
Aku ingin menghasut angin
Mengundang badai
Biar tirai itu terbang lepas
Tapi apa mungkin
Dan mana aku berani
Ketika lagi-lagi kudapati tatap matamu
Yang masih ingin sendiri
Bersembunyi di balik tirai itu
Setidaknya untuk saat ini
Entah nanti
Di suatu hari
Aku masih sakau
Dalam selimut wajahmu
Malam ini
Mencari-cari
Sebentuk luapan resah
Yang menghimpit sejak pagi
-
Kadang
Aku ingin mengakhiri semua ini
Biar tak lagi
Aku terbius pesonamu
Di setiap kedip mata
-
Tapi, aku tak kuasa
Sejenak aku mencoba berlari
Seterusnya anganku malah mencipta wajahmu, lagi
Kadang, untuk sesuatu yang lebih bermakna, kita terpaksa melupakan apa yang paling kita inginkan
Biarkan aku memelukmu dan menciummu, sekali ini saja
Tapi, biarkan aku mencintaimu, selamanya
Aku melihat cahaya di wajah Bintang
Membias...membias lalu jatuh di pangkuan
Menghadirkan getar yang selama ini mati suri
Menyadarkanku akan arti rindu, kembali
Ah Bintang...Bintang
Kau buat aku termangu
Terpesona wajahmu
Sialan!!!
Wahai Bintang yang menjadi matahari di setiap hentakan napasku. Izinkan aku memaknai setiap detik bersamamu tanpa sisa. Aku ingin hanyut dalam matamu. Berenang lepas merasakan bahagianya hati yang lama mati suri terpasung magismu. Sungguh, syahdunya hati ini tak bisa disepadankan dengan birunya langit yang mengayomi mata lelah. Terlalu dalam bahagia ini mengisi kekosongan hati. Menghias mimpi dengan ilusi bidadari, mendendang tembang bersimbah lautan kasih, melukis pelangi dengan elok pesonamu. Izinkan aku sekali lagi mencintaimu, hanya mencintaimu seutuh-utuhnya. Hanya itu, tak lebih.
Bintang itu malu membuka kelopak matanya, tersipu di balik hitamnya langit, memantul di atas birunya air. Ah, tetap saja bintang itu tak berubah
Sedap dipandang apalagi diraba. Kapan kau datang padaku dengan cintamu? Aku menunggu jawabmu
Dalam diam
Dalam bisu
Membuka hati untuk asa semu, hanya akan membuat penderitaan semakin besar
Di jalan itu, pesonamu membius bebatuan. Kelopak matamu menari-nari, menerjang debu-debu. Melepuh lunglai tanpa berdaya, setakberdayanya aku ketika pesonamu menukik tajam menusukku, dalam cengkeraman rindu, luluh dalam pengharapan, satu untuk membawamu dalam kerajaan cintaku, satu.
Hatiku telah kubuka tanpa sisa. Tak ada sekat apalagi pintu penghalang. Aku mengundangmu masuk. Kapanpun kau mau. Aku akan menyambutmu, dengan nyanyian rindu bertahtakan cinta nirwana
Sungguh, masuklah. Aku kesepian, ketakutan, kehausan. Masuklah, kutunggu datangmu...
Begitu misteriuskah duniamu, hingga aku selalu merasa asing di dekatmu. Padahal, jarak dan waktu telah kuseberangi dengan balutan asa yang menerbas ilalang di perbukitan, tak putus-putus. Setiap kata, senyum, tawa, dan kecup sederhana, selalu kuukir tulus di setiap lajumu.
Seberapa lamakah kau bisa kudekap seutuhnya. Biar keasingan itu sirna, tiada.
Dan kau bisa mencatat namaku dalam duniamu.
Menyemai dan merenda kasih kembali untuk mendulang cinta di tepian hati yang meradang. Merenggang asa diayun luka dan kefanaan. Biarkan saja pasrahkan pada suratan takdir. Tak pernah ada kata salah untuk mencintai apalagi dicintai. Lepaskan saja di lautan lepas dan langit yang membentang alam maya. Biarkan ia mencari dan menyelami maknanya sendiri. Cinta tulus tahu kemana ia akan membawa dan melabuhkan mahkota hatinya
Meretas jejak di ambang mimpi yang hampir berakhir. Mendayung kembara hati dalam pusara air kasihmu. Semalaman menatap paras wajahmu di balik gerimis yang setia membasahi jalanan. Merasakan getar itu berkobar lagi perlahan-lahan.
Mengapa tak kuasa kubunuh getar itu biar aku terbebas dari pesona auramu yang mengepung segala ruang di hati. Di setiap kedip mata kutemui bayangmu menjelma nyata. Di setiap desah sepi, kupintal wajahmu dalam dekapan mesra. Begitu erat hingga tak ingin kumelepaskannya. Di setiap doa aku mengiba untukmu:
Datanglah menjelang...pintumu kau buka untukku. Lambaian putih tapak tanganmu, mengikat langkahku diam menembus bumi. Luluh dalam cintamu, satu..
Pasir itu kusentuh tadi sore. Kubenamkan kaki dalam-dalam. Tiba-tiba aku tergetar. Pasir itu seakan mengerti perasaanku. Yang lebam mendalam, tertusuk rindu semalaman.
Kutumpahkan semua tanpa sisa. Tentangku, seutuh-utuhnya. Tentangmu, segala-galanya...
Menyapamu lagi ketika pagi menjemput. Ada yang hilang saat kutemui saputan wajahmu menyulam embun. Rindu berontak dan meneriakkan segala tentangmu pada pagi yang makin basah. Rinduku menuai padi yang terus mengunig di sawah kerig. Aku mengasah pedang yang tersembunyi diam. Terhunus menghujam dalam sakauku.
Salahku kalau aku tak bisa beranjak dari matamu. Karena kau lah akhirnya, ke mana rindu ini kubawa. Kau lah ujungnya, ke mana kaki ini mengembara. Kau lah muaranya, ke mana segala cinta ini ingin kulabuhkan. Kau lah akhirnya. Semoga saja ini nyata.
Kesendirian itu kadang lebih membahagiakan daripada mencintai tapi bertepuk sebelah tangan
Satu Cintaku
Mataku tak bisa berbohong. Mengerjap-ngerjap ditepis lamunan masa lalu. Lamunan yang bermuara pada sosok perjaka bagus yang bersembunyi di lugu kata. Ketika itu, cintaku juga terpasung satu. Luluh dalam janji terpatri, menggulung seribu cerita di dalam memori batang bambu yang bergesek ditiup desau angin senja. Hanya dengan tatapan dan sesekali genggaman tanpa rencana, lain tidak.
Kini, cerita itu terulang lagi, satu cintaku menggelosor tanpa daya. Menyisir tepian ngarai yang penuh duri. Luka menyulam di sekujur tubuh. Meneteskan arti pengembaraan lelah. Tak juga cinta itu menusuk mahkota bidadari. Hanya ada asa yang terus menguntit di hitamnya hari. Hanya ada senyum dan tatap saja teretas dalam rau. Menyibak sepi untuk sesaat lalu menenggelamkanku lagi dalam pengharapan satu cintamu yang masih serupa warna pelangi.
Cinta Tak Pernah Salah
Waktu telah membungkus rinduku dalam cakrawala yang berarak menghitung hari. Entah sudah berapa hari kuhabiskan waktuku dengan berbalut sepi yang menggigit. Tersia-sia atau tidak, aku juga belum menemukan tanda jawabnya. Yang kutahu, aku akan terus mengiring hari dengan satu cintaku, untukmu. Entah juga kapan akan menciumi titik pengakhirannya. Aku percaya, tak pernah ada kata salah untuk mencintai yang kuyakini.
Sia-siakah Danau Biruku....?
Tak pernah kuingkari serpihan hati ini tercerai berai ditelan bimbang yang telalu lama menguras mimpi-mimpi semu. Danau biru yang kuhias dengan aneka bunga warna-warni itu mulai mengering. Keindahan yang biasanya memancar di setiap senja kini tak kutemui lagi. Danau biruku mulai menggerontang terkikis musim. Ku tak tahu dengan cara apa lagi membirukan danauku kembali.
Terlapis puisi telah kupanjatkan di atas percikan air yang membasahi kelopak bunga segar. Mungkinkah itu akan membuatmu datang di suatu hari dengan membawa bibit bunga baru untuk kutanam lagi di danauku? Aku tak berani berharap masa itu akan datang. Atau mungkin lebih baik aku berhenti berharap. Biar tak perlu lagi aku terlunta-lunta dalam kasih tak bersambut. Tapi sungguh, jika ad masa itu datang, sekali ini saja aku mencintaimu, selamanya aku merengkuhmu. Ah, aku berharap lagi.
Lalu Tangis Datang...
Pada siapa aku mesti meneriakkan gundah ini. Pada apa aku harus kuceritakan gelisah ini. Sedari pagi, aku tak mampu mengusir hasrat untuk membawamu dalam bius rindu menggebu. Aku dihinggapi rasa iri yang melilit hati tanpa belas kasih. Ketika kudapati sepasang pengantin saling meluapkan kemesraan dan kegembiraan lewat setangkai tulip merah.
Pada sebuah meja mereka mengungkapkan kasih. Terpercik dari sentuhan manja, tawa syahdu dan tatapan penuh arti. Kecup di kening membilas dahaga bertabur wangi cendana. Pada siapa aku harus menumpahkan cinta ini kalau tidak kepadamu. Telah berulang kali kusisikan namamu, tapi tetap aku tak mampu menafikan adamu. Semua tentangmu telah mengukir bejana atas nama cinta abadi dalam kalam batinku. Aku takluk tanpa daya. Pesonamu telah menguras habis adaku tanpa sisa. Berlumur dosa yang setia mengalirkan tetes air mata pada aliran sungai yang beriak.
Karena Cintakah? Ah....?
Seyogyanya kubiarkan ingin ini mengendap dalam emosi yang terlunta-lunta. Mengenangmu dalam jarak. Menyentuh magismu dalam rindu yang mengurai segalanya. Menyandarkan kasihku di ujung sapa yang tak terlontar dari bibir kelu. Terlampau jauh kasih ini menyulam benang kusut yang kusisikan. Kadang, aku merasa tak mampu. Hanya karena cintaku jualah, aku terus bertahan memangkul beban asa yang tak lelah kuulurkan untukmu, Bintangku. Ah.....!!!
Di Setiap Adamu
Setiap pasir di laut
Setiap batu di sungai
Setiap helai di rambut
Kupapah tanpa sisa untukmu
-
Disetiap tarian debu
Disetiap arakan awan
Disetiap lamunan pagi
Yang jatuh di segala ruang dan waktu
-
Kepadamu kusisikan
Kepadamu kutepikan
Kepadamu kusebuhkan
Menyebar dalam deraian tetes rindu
-
Apa yang kau tungu
Apa yang kau mau
Aku menunggumu
Aku hanya mau kau, satu-satunya
Jauh Kau Kurengkuh...
Jauh telah hilang. Menghujam di teluk tak bertuan. Rindu yang kupegang berantakan, lebur di awan lalu diam. Menanti perjaka datang,
Dengan senyuman,
Dengan ketulusan.
-
Jauh telah hilang. Sumbu cintaku dilalap perapian. Hangus menghitam nian. Hanya debu lebam mengundang angin datang membawanya terbang. Entah di rumah cinta puan atau di selokan
Jauh telah hilang. Aku hanya merintih perlahan. Tak terdengar. Hanya berpangku pada penharapan. Terjerat siksaan, menangis tanpa sandaran. Kau juga yang jadi tujuan.
Hanya Ingin Kamu....
Mengeja wajahmu di alam kekosongan. Dalam lebur ragu yang menetak uratan kehampaan. Mungkinkah adaku telah kau nafikan dari dadamu? Membuatku sempoyongan dihimpit seribu tanya. Ada dan tiada bagimu, aku hanya ingin hadir di timang pangkuanmu. Boleh ya???
Tak ada sakau yang lebih menyakitkan dibanding sakau dalam cinta. Kesepian, penantian, dan ketidakberdayan menjadi satu dalam tujuan.
Aku hidup untuk kesepian, seperti juga aku akan mati kesepian. Tawa yang menampar langit-langit basah. Desah yang menggelosor di ranjang tak bertuan. Peluh bahagia yang tumpah di tubuh tanpa jiwa seperti menikam kesunyian.
Inikah arti kesunyian?
Aku belum juga menemukan jawab. Sampai detik ini, aku masih bisa mengendus harum tubuh jelita berbalut sutera menyatu dalam irama musik malam. Menyentuh desir angin pagi. Memeluk raga rembulan. Sepikah hidup ini?
Bila saja bisa kusingkap kerudung hitam di wajahmu akan kucari jawab sepiku. Bilakah ada sehari saja aku bisa mendekap raga dan hatimu. Akan kucari makna sepi yang kau pautkan lewat tatap hambarmu. Sungguh aku tak habis mengerti. Mengapa puluhan bintang yang menyapa dengan kemerlipnya yang memesonakan mata tak menyisakan apa-apa selain bias cahaya putihnya belaka.
Tetap saja sepi ini menggerogoti warasku. Sehari terasa semusim, semusim pun bahkan jadi sehari. Terlalu dalam menerjemahkan sepi ini dalam logika yang longsor tanpa arah. Terkikis begitu saja, lalu tahu-tahu aku sudah berdiri di tepian jurang ketidakberdyaan.
Tak bisa kuendus jiwamu selain raga mati yang meniupkan aroma wangi bunga melati di temaram lampu.
Melenakan tapi tanpa makna yang tersisa. Hambar dan basi. Sepi juga yang kutiduri, akhirnya.
Retak menepi. Senyum disapu buih. Teruruk pasir yang kalap oleh angin. Menebar kabar ke pelosok negeri. Tentang duka dan luka yang masih melengkung di lembah senja, di langit basah. Tentang hati yang dikepung air mata. Ditikam perih dalam lena. Tak ada yang tersisa dari kabar buih di musim ini selain cerita cinta yang terapung diam dalam bejana. Menunggu tanpa kata. Entah kapan datang masanya. Cinta bicara apa adanya. Meluberkan air kasihnya ketika dua hati saling seia. Duduk di bangku tua. Memandang langit dan tengadah dalam senyum. Entah menyesali nasib atau bahagia. Tak ada bedanya, bukan...?
-
Pada gulita hati ini, aku merayap tanpa tujuan. Pada galau dan gundah jiwa ini, aku merangkak di batu ujian. Batu yang di atasnya tergurat namamu, tapi tersembunyi di dasar kolam. Keruh airnya mengaburkan pandang. Serumpun bunga eceng gondok menyekat tatapan. Hanya praduga yang mengapung di atas titian selayang. Mengepung adara dalam irama kegerahan. Mencoba menakar, seberapa dalam aku mesti menyelam. Aku takut tengelam dan tak bisa membawa batu atas namamu ke permukaan.
-
Ke mana kan kubawa perih ini ketika tak kudapati lagi bahumu untuk bersandar? Gontai menjebak bumi, menangis mengais hati. Jejakku menilas luka, luruh dalam genangan air mata. Sanggupkah aku merelakan langkahmu melenggang sendiri di padang peluh ini, sementara jiwaku masih takluk padamu. Sampai detik ini, aku masih memburu bayangmu. Inginku menyusup ragamu. Nyata senyatanya bukan fatamorgana apalagi mimpi bunga tidurku. Aku rela didera rindu yang bertalu talu. Menggunung di atap kamar. Dalam desah pagi yang makin hanyut ditelan sepi. Di sini, aku terus memantul wajah manis, milikmu.
-
Lelah ini makin tak terperi. Merama rama di kepala tak mau pergi. Detik ini begitu mencekik. Tak tahu lagi mesti ke mana aku berlari. Mencari teduh hati. Membangun kembali diri yang tercerai berai dihantam emosi, ilusi, dan sepi. Aku terlalu lelah. Lelah yang teramat sangat. Menguburku dalam gelembung-gelembung maya. Sirna ditelan kantuk sesaat, menjelma lagi ketika mata terbuka. Lelahku menguras sadarku. Semoga pagi menyongsongku dengan bunga bersemi. Dan pagimu merekah dalam semi bunga matahari.
-
Aku ingin selalu berlari pulang ke arahmu, kapan pun itu. Meski dera luka menguntit di belakangmu dan jerat hampa mengucap salam pada rinduku. Apakah kau tahu? Aku tak kan pernah menyesal telah berjalan jauh menejar negerimu. Bukan karena apa, hanya karena aku memilihmu. Kalau tidak memilih, mungkin aku hanya akan berjalan di tempat. Terapung apung dalam memoar tanpa arah. Menjaring minpi ditepis ilusi kosong belaka. Berlari pulang ke arahmu, membuat kakiku tak gentar menjejak pilihanku. Dan itu adalah engkau, satu satunya.
-
Derap menguras peluh di perjalanan ini. Dalam bilur biru merangsak maju kepadamu. Di batas malam ini kutatap lagi lugu wajahmu. Membilas jalan yang terbias lampu kota. Remang-remang kuraba gelar itu lagi. Yang lama menghuni relung kalbu. Mengikis dalil-dalil pengingkaran yang rebah di hitamnya ragu. Beranak pinak dengan kidung keindahan lagi. Bersemu harapan di tempurun hari yang basah oleh mata embunmu. Mengukuhkan air dalam lajurnya. Kukuh berjalan menyongsong pagi yang berjanji memberiku matahari. Lurus menjejak pada satu hati lagi yang kuyakini. Dulu, kini, dan nanti. Semoga...
-
Terbawa arus menepi. Langkahku berhenti pada dua pilihan yang sama-sama tak pasti. Setia menanti ditikam ilusi atau pergi membawa hati untuk lain hati. Mana yang harus kupilih/ jika aku bertahan dengan mengiba pada matahari, peluhku pasti membanjiri sekujur lelah. Jika aku meminang bintang detik ini, berapa malam lagi mesti aku habiskan untuk menanti. Bimbang berkubang dalam tanya tak berkesudahan. Di antara bintang dan matahari yang menyimpan seribu misteri. Yang mana akan datang padaku dengan cinta pasti? Pasti mencintaiku, mendekap pasti.
-
Terus saja berdetak. Jantungku mengejar bayangmu hingga kini. Meletup-letup di kawah sadarku. Mendebarkan dengan segala keraguan. Datang dan datang di setiap lamunan.tak mau pergi meski dalam mimpi sekalipun. Hadirmu telah meleleh di seluruh ruang batinku. Ada dan hampa tak berbeda. Satu dalam gemuruh namamu. Bergaung di dinding hati. Mencipta simfoni dalam lenguhan pagi yang mencium daun-daun yang mulai basah. Tertulis di tanah. Abadi dalam catatan bumi. Hanya kau dan aku tak mau pergi. Di sini, aku tertatih memeluk bayangmu.
-
Kubakukan namamu, kini, nanti, dan entah sampai kapan. Kupatri wajahmu pada beton yang kupagari dengan doa dan mahabbah. Tercetak pada mulut yang setia melafal di setiap malam menjemput pagi. Tercekat menguat lekat. Membumi pada hati. Rebah lelah dalam gundah. Menyobek mimpi lama dengan jejakmu. Baku satu pada rindu kalbu.
-
Kala kala... maya maya... rana rana. Kala mata terbujuk auramu. Kenapa maya yang hinggap di jiwaku. Rana-rana mengoyak bongkahan sepi. Tercerabut dari akar tawa. Merobek jala angkuhku. Kala jiwa merunduk pada matamu dan berkelok rebah sujud pada satu cintamu. Kenapa maya lagi yang bisu kuterka. Maya dalam asaku, rana dalam penantianku.
-
Perih itu seyogyanya mengiring saat mata pisau tajam mengiris kalbu. Begitu juga kecewa, pastinya setia mengulum hati yang tersayat luka cinta. Tapi haruskah itu berakhir pada tak berdayanya diri untuk kukuh dalam sengatan nasib? Tidak jawabnya. Biduk yang berlubang bisa kutambal meski berada di tengah lautan. Luka yang berkubang nista, bisa disulam dengan air mata bahagia. Begitulah semesta bersabda dalam kalamnya. Selalu ada cinta, di manapun itu.
Mencintai seseorang hanya karena engkau lebih dulu mengenalnya, itu keras kepala.
Kenapa selalu ada rindu yang mematuk. Sementara tanganku tak bisa jua menggapaimu.
Kenapa selalu ada debar yang berontak dalam dada labilku, sedang kau di sana tengah merenda hari di rumah kaca. Ada tangan kokoh mencengkeramragamu, tapi entah hatimu.
Kenapa juga selalu ada inginku yangmeluap tanpa kendali untuk terus mempertahankan rindu dan cinta ini engan pongah. Meski bosan dan lelah menjungkirbalikkan warasku. Kenapa selalu, aku mencintaimu. Aku tak tahu.
Aku telah jatuh cinta. Terlalu sakit, memang. Tapi aku ingin tetap dalam kesakitan.
Sejumput rindu kutahan hari ini. Membiarkannya rehat sejenak pada debat kata yang terus membelit. Di antara sergapan ilusi yang memburu di tepian hati, kuingkari terpesonanya diri pada lembut matamu. Tapi ku tak mampu. Sejenak kutahan laju rindu, segumpal emosi meledak tanpa kompromi. Mengusikku untuk melangkah menuju rumah kosong yang kau huni. Adakah telah hadir penghuni baru yang menyisikan adaku?
Terpukauku dimamah negeri sepi. Terbuang ke tepi, sendiri lagi. Sementara waktu terus berlari, tak berhenti. Dan perempuan ini hanya bisa tertatih di ekor hari. Mengejarmu yang makin jauh di pelukan matahari. Mungkinkah langkahmu berhenti? Sejenak menengokku yang kian lelah tak terperi. Siapa tahu ada mimpi yang menggugah cintamu lagi, untukku yang kian terkikis sepi, seorang diri.
Duka telah menjelma nestapa. Berkubang nelangsa diayun luka. Tangis ini karena angkara. Tangis ini karena tersia-sia. Tangis ini karena lebam hati yang merana. Tangis ini ternyata karenamu jua. Pada siapa dan dengan apa aku mesti mencari sandaran untuk obatnya? Aku tak kuasa lagi menanggungnya. Hanya titik, hanya kosong. Aku telah jatuh tanpa daya.
Terpenjaraku dalam jeruji diri yang berontak menujumu. Tak terbantahkan, pencarianku selama ini ternyata hanya kau. Lalu kenapa aku harus undur diri, menggigil pergi tanpamu. Sedangkan hatiku tak kuas lari, lepas dari matamu. Aku terlahir kembali dengan jiwa lugu. Ketika tawa lembutmu memasungku. Karenanya, aku tak mau pergi.
Bermalam malam kucoba lari. Menafikan adamu dalam jiwaku. Mengusir segala rindu yang tak juga mati. Membunuh cinta yang kuyakini. Senyata matahari yang setia mengucap salam pada bumi, senyata itu pula cinta yang bersemayam di hatiku. Tak kuasa aku membunuhnya, menghanyutkannya di laut lepas. Seperti matahari yang selalu kutemui ketika pagi menyapa. Mengerjap ngerjap dengan senyumnya dan aku takluk luluh lagi dalam mata beningmu.
Waktu belum juga berpihak padaku. Segar dalam ingatan, satu musim berlalu membenamkan segalamya pada satu hati. Tanpa jawab dan kepastian. Hanya didera kata dan lugu sikap yang menggantung di catatan harian. Kau, pria pemasung hatiku, masih saja sunyi. Diam dalam dunia misteri yang belummampu kujajah. Ada apa dibalik senyummu pada senja ini pun, tak juga bisa kuurai. Hanya ada bilur bahagia sejenak yang hinggap, berikutnya kau tetap saja menyisakan misteri.
Sampai kapan waktu kau sibuk untukku? Biar tak ada sekat yang menghalang pandangku. Biar tak ada rindu yang terus memanggil dari kedalaman nestapa. Biar bisa kurebah dan bersandar pada pundakmu. Membelah luka penantian pada desah pagi, pada terik matahari, pada arak-arakan senja, pada gulita malam yang meninabobokan jiwa-jiwa nelangsa dan pada ribuan kata-kata yang telah kupahat di batu mati. Segalanya, apa adanya dan seutuh-utuhnya.
Setitik air yang mengelosor di daun talas, menukik tajam mencium tanah. Kutatap dalam-dalam menjadi lukisan senja. Kubayangkan kau tengah menari lalu rebah memluk tanah yang memerah. Memaknai arti jejak, mengusir angn kelabu. Bila saja jejakmu masih tertinggal, ingin kususuri tanpa lelah. Meski di ujung penantian itu tak kn kutemui rona wajahmu yang bersemu bibir merekah, melambaikan tangan menyambut hadirku. Tak ada salahnya bukan, mendamba asa diayun ketadaan. Hampa mengulum adamu dalam pedih.
Mungkinkah sendiri akan jadi pelabuhan akhirku? Tak dapat kubayangkan apa jadinya. Saat aku tak lagi mampu berharap. Saat tak ada lagi napas untuk mengeja namamu. Betapa duka akan menggantung di tiap ranting pepohonan. Menyatu bersama buih di pasir laut. Hanya mampu berdesis ketika desau angin menyapu. Hanya bisa basah ketika gerimis menghujam bumi.
Mungkinkah sendiri akan jadi sayap di sisi tanganku. Selalu mengikuti ke mana arah tangan bergerak. Tak bisa kulukiskn, akan ke mana kuhabiskan sisa umurku di sela waktu yang terus menghimpit. Bahkan ketika mataku terpejam dibuai sejuta angan dan khayalan. Takut kubayangkan, sendiriku akan menjelma keramaian. Di tengah hiruk pikuk masa yang bergejolak meneriakkan mantera cinta. Bukan apa-apa, untuk apa aku bergaduh dengan tawa kalau ternyata bukan kau yang di sampingku. Mungkinkah kau kan hadir sat bahagia itu menghampiriku? Hanya kau, bukan orang lain. Ini pun tak mampu aku bayangkan, walau sekelebat pandang.
Kemarau datang, hujan belalu lalang melintas tanpa tetes airnya. Udara berhembus kering, tersilap di pepohonan yang meranggas. Kepak sayap merpati terbang rendah, enggan berputar di atap rumah. Terik mmaksa kepala menunduk. Berlindung pada bayangan teduh.
Apa yang kucari di kemarau gersang ini? Kegerahan memeluk sekujur tubuh. Lelah menanti di tiap kaki terantuk. Hujan tak juga menyapa. Kunanti nanti tapi masih saja bersembunyi di singgasananya. Sementara tanah makin retak menggerontang. Haus meminum air bah. Biar menggenang di kerongkongan.
Apa yang menghalangi laju hujan? Bukankah selaksa harap dan doa dari jiwa yang merindu keanggunan, kedamaian, dan keagungan cinta merongrong dalam lebur hati yang tak kenal lagi logika. Hanya rasa yang mengendap di atas pemahaman sesadar-sadarnya. Tak ada rekayasa, semua mengalun dalam redup cahaya. Meski samar merayap, tapi satu menuju padamu jua.
Ada rindu di sini. Selalu kutemukan berulang-ulang dalam kesendirian. Bahkan sat tanganku takbsa memainkan hitam lebam rambutmu dan menghujamkan pandang pada wicara bibirmu.
Ada rindu di sini. Tak bisa kutolak apalagi kutepikan dan kuhapuskan. Menari-nari di kelpak mata. Mengatupkan bibirku hingga tak bisa berkata-kata. Hanya menyebut namamudan rindu. Di sini, ada rindu, ada kamu. Hanya itu!
Ketidakpastian adalah hal terburuk dalam logika penantian
“apa yang kau cari, Bulan?” terdengar bisikan tanya dari dalam jiwa yang meragu kesepian.
“aku mencari Bintangku yang tak kunjung tiba. Bermalam-malam aku tafakur mengiba, tapi sia-sia. Bersiang-sian aku mematung di tepi lautan menanti Bintangku menjelma matahari. Tapi tetap saja hanya angin dan deru ombak yang kutemui. Bintangku entah bersembunyi di mana, entah. Mungkin Bintangku masih mencari jawaban kejujuran cinta yang diyakininya. Mungkin Bintangku belum sampai pada satu pemahaman kalam batinnya”.
“untuk apa kau bertahan dengan cinta semumu itu, Bulan? Yang membuat kerajaan hatimu makin senyap memilukan. Membuat ramai tewamu hanya jadi setitik embun di laut lepas. Apa kau rela menghitung hari dengan berbalut rindu dan asa yang memagut hanya demi seorang Bintang?”
“apalah artinya sepi dan sebaris waktu yang mengusung duka untuk sebuah pencapaian cinta sebenarnya. Bagiku tak ada artinya. Meski jiwaku nelangsa tersia-sia. Biar saja, biar saja. Sudah lama tak kutemui perasaan yang seperti ini yang dalam menghujm, tak mau lepas. Luluh merobek fondasi pongahnya hati yang selama ini tertipu fatamorgana wajah-wajah tampan. Aku hanya ingin Bintangku, hanya satu Bintang, itu saja. Aku ingin dia tahu.”
Tak biasanya kutatap laut seindah sore ini. Di tepi pantai, aku merayu lautan dengan sejuta puisi. Merasakan gemuruh ombaknya menampar wajahku. Mendekap birunya air yang berbisik dengan buih putihnya yang melambai-lambai di atas pasir. Bila saja ada seikat masa sore ini, ingin kubawa ragamu mengembara di antara rintih daun ilalang yang bergesekan. Menyandingkanmu dengan lautan bak sepasang pengantin suci. Membiarkan kaki telanjangmu. Membilas sore dengan jejak rindu. Ingin kusandingkan coklatnya matamu dengan birunya lautan. Mata coklatmu yang menguri segalanya tentang kebeninan. Birunya laut yang mengundang decak nyanyian alam.
Oh, andai dua-duanya bertemu. Seikat masa sore ini, kuyakin akan jadinya gumpalan awan di sejarah kalam batinku. Menghias tidur paiku dengan mimpi bidadari. Mewangikan kerajaan sepiku, dengan kidung cinta baru. Melabuhkan matamu dalam lautan biruku.
Saatnya kini menangis untuk kebahagiaan tak terhingga, tertawa bersama matahariku dan wajah-wajah dekat yang setia mengiring langkahku.
Saatnya menangis untuk cinta yang tak juga pudar mesti sekian lama kucoba membenamkannya dalam tanah berpasir.
Saatnya menangis untuk karunia yang tak lelah menaungi pengembaraan baru yang mungkin akan lebih meluluhlantakkan pondasi kaki dan hati.
Saatnya juga mengucap terima kasih untuk hadirmu yang bagiku terlalu tajam menukik, menyimpan makna terdalam dari kehadiranmu malam ini. Mengendap perlahan lalu menjelma pengharapan semu, lagi.
Terima kasih Bintang. Padamu segalamu, kubiarkan jiwa ini mengasah lautan, mendambamu. Lalu rebah diam, bisu menunggu cintamu. Tapi, masihkah ada ruang untukku sementara hatimu telah kau berikan untuk orang lain?
Jika aku boleh memilih, tak ingin kenangan di pantai ini terbuang sia-sia. Jika aku boleh memilih, aku ingin tetap mendekapmu di pantai itu. Kalau boleh memilih, jangan pergi dariku, Bintangku.
Barangkali, ada baiknya kita tetap hidup dalam mimpi saja. Biar tak ada luka yang tersisa.
Di beranda aku dikejutkan oleh hadirmu yang tiba-tiba. Mengapa kau datang dan perlahan mengisap rinduku? Mungkin tidaklah salah, kini aku dinanar kangen ketika tak ada tatap dan sapa yang terekam di hikayat pagi, senja atau malam sekalipun. Aku gelisah dalam lebur mimpi tak berujung, saat tak kuasa kurenggut lembut halus jemarimu. Mengapa kemarin dan hari ini, hanya ada bilur senymmu yang samar merambah pada kaca cermin. Bagaimana dengan lusa?
Untuk apa bersikukuh mencintai orang yang tak mungkin membalas cintamu.
Detak yang menjepit detik. Ketuk yang mematuk hampa. Bergulat tiada, mengalir air mata dan melebur dalam luka. Tangis ini karena tak kuasa, tangis ini jadi pertanda. Ada cinta yang hidup terlunta-lunta. Tergurat dalam jiwa, melebur pada sukma. Ditebus kosong asa. Dijerat sekarat tak berdaya. Kuyup luka. Tapi tetap tak terlupa. Menganga dalam setiap getar. Pada tatap mata, pada suara sapa dan pada segalanya. Semua telah nyata. Aku semakin luka, dan mencinta, selamanya. Mungkinkah ini nyata?
Seyogyanya kubiarkan ingin ini mengendap dalam emosi yang terlunta-lunta. Mengenangmu dalam jarak. Menyentuh magismu dalam rindu yang mengurai segalamu. Menyandarkan kasihku di ujung sapa yang tak terlontar dari bibir kelu. Terlampau jauh kasih ini menyulam benang kusut yan kau sisikan. Kadang, aku merasa tak mampu. Hanya karena cintaku jualah, aku terus bertahan memangkul beban asa yang tak lelah kuulurkan untukmu.
Pada siapa aku mesti meneriakkan gundah ini. Pada apa harus kuceritakan gelisah ini. Sedari pai, aku tak mampu mengusir hasrat untuk membawamu dalam bius kasih sayangmu. Aku dihinggapi rasa iri yang melilit hati tanpa belas kasih. Ketika kudapati sepasang pengantin saling meluapkan kemesraan dan kegembiraan lewat setangkai mawar merah. Pada sebuah meja, mereka mengungkapkan kasih. Terpercik dari sentuhan manja, tawa syahdu dan tatapan penuh arti. Kecup di kening membilas dahaga bertabur wangi cendana.
Pada siapa aku harus menumpahkan cinta ini kalau tidak kepadamu. Telah berulang kali kusisikan namamu, tapi tetap aku tak mampu menafikan adamu. Semua tentangmu telah mengukir bejana tas nama cinta abadi dalam kalam batinku. Aku takluk tanpa daya. Pesonamu telah menguras habis adaku tanpa sisa. Berlumur asa yang setia mengalirkan tetes asa yang tersia-sia.
Sejenak, pudar gelisahku yang menguntit hari-hari sepiku. Inikah sebuah pertanda? Aku masih mencari-cari jawabnya. Di batas penantian masih bisa kucium tetes embun di pagi buta. Kadang aku tak mengerti apakah cinta mesti digapai dengan bermandikan peluh dan asa yang membakar habis logika waras.
Aku bisa merasakan kobaran api itu terus menyala di antara lebam rinduku. Memusnahkan segala senyum bintang jelita. Tak ada lagi yang dapat kulihat selain senyummu. Tak ada lagi yang dapat membuat indah hari-hariku selain mendekap hangat tubuhmu di temaram senja. Berdua mereguk janji surga dalam derai tawa bahagia.
Inikah pertanda? Ketika tak kudapati lagi keinginan untuk lepas dari rinduku yang mengusung segalamu. Inikah pertanda? Ketika aku menemukan kedamaian tak terhingga dalam genggaman jemarimu. Melintas di antara ratusan tubuh yang larut dalam bius melodi piano, malam itu.
Mataku tak bisa berbohong. Mengerjap-ngerjap ditepis lamunan masa lalu. Lamunan yang bermuara pada sosok pria tampan yang bersembunyi di balik lugu kata dan santun budi pekertinya. Ketika itu, cintaku juga terpasung satu, luluh dalam janji terpatri. Menggulung seribu cerita di dalam memori batang bambu yang bergesek ditiup desau angin senja. Hanya dengan tatapan dan sesekali genggaman tanpa rencana, lain tidak.
Kini, cerita itu terulang lagi. Satu cintaku menggelosor tanpa daya. Menyisir tepian ngarai yang penuh duri. Luka menyulam di sekujur tubuh, meneteskan arti pengembaraan lelah. Tak juga cinta itu menusuk mahkota bidadari. Hanya asa yang terus menguntit di hitamnya hari. Hanya senyum dan tatap saja teretas dalm ragu. Menyibak sepi untuk sesaat lalu menenggelamkanku lagi dalam pengharapan satu cintamu yang masih serupa warna awan.
Waktu telah membungkus rinduku dalam cakrawala yang berarak menghitung hari. Entah sudah berapa hari kuhabiskan waktuku dengan berbalut sepi yang menggigit, tersia-sia atau tidak. Aku juga belum menemukan tanda jawabnya. Yang kutahu, ku akan terus mengiring hari dengan satu cintaku, untukmu. Entah juga kapan akan menciumi titik pengakhirannya. Aku percaya, tak pernah ada kata salah untuk mencintai cinta yang kuyakini.
Indah siang ini meniupkan hawa harum ikal mayang rambutmu. Sungguh, mendung mendesah dibuai tarian awan yang malu-malu. Belum lagi gerimis yang mngintip di setiap senggang waktu. Di mana adamu, Bintangku? Mengapa kau bersembunyi di balik mendung yang mengepung ruangmu. Aku ingin melihat rona wajahmu memancar cerah, menghadirkan gerak hingga kubisa berlari dengan peluh untuk merengkuhmu. Di mana adamu?
Gemericik air hujan itu membangunkan tidurku. Pepohonan basah kuyup. Tanah pun menggigil kedinginan. Sedang apa gerangan kau, Bintangku? Tidakkah kau lihat betapa indah irama air hujan yang selaras menuruni lekukan atap rumah. Satu-satu jatuh ke bumi meniggalkan jejak bulat berurutan. Tetes demi tetes menghujam jejak yang sama. Begitu seterusnya seperti iarama yang berulang-ulang. Mengetuk nada, mendayu-dayu satu suara. Aku jadi teringat dengan jejakku sendiri yang setia menghujam pada satu cintamu. Air hujan yang jatuh ke bumi itu akhirnya bebas mengalir ke mana dia suka. Tapi tetap saja, airnya berkelok menyusuri tanah yang landai untuk bertemu di satu muara.
Satu cinta yang kubangun, melintas terjal perbukutan berlapis sepi, asa, ketidakberdayaan dan segalanya tentang penantian tersia-sia. Tapi tetap saja, cinta itu tak goyah. Bertahan teguh dengan keyakinannya sampai akhirnya cinta mencari jalannya sendiri untuk berlabuh di singgasana hati yang menjadi pucuk pencapaiannya. Selamat pagi, Bintangku. Langit lagi mendung ya... hujan sedari tadi tak mau berhenti. Tidakkah kelopahk matamu menyongsong hujan pagi ini?
Tak pernah kuingkari serpihan hati ini telah tercerai-berai ditelan bimbang tang terlalu lama menguras mimpi-mimpi semu. Danau biru yang kuhias dengan aneka bunga warna-warni itu mulai mengering. Keindahan yang biasanya memancar di setiap senja kini tak kutemui lagi. Danau biruku mulai menggerontang terkikis musim. Membuatku hanya bisa menatap kekosongan. Aku tak tahu dengan cara apa lagi bisa membirukan danauku kembali.
Berlapis lagu telah kunyanyikan ketika pagi dan malam menjemput. Berlapis doa telah kupanjatkan di atas percikan air yan membasahi kelopak bunga segar. Mungkinkah itu akan membuatmu datang di suatu hari dengan membawa bibit bunga baru untuk kutanam lagi di danauku?
Aku tak berani berharap masa itu akan datang. Atau mungkin lebih baik aku berhenti berharap. Biar tak perlu lagi aku terlunta-lunta dalam kasih tak bersambut. Tapi sungguh, jika ada masa itu datang, sekali ini saja aku mencintaimu, selamanya aku merengkuhmu. Ah, aku berharap lagi.
Dalam riak bisu, kusandarkan diri pada jembatan rapuh ini. Menebang daun-daun bambu di belantara pai. Makin jauh kudekap rindu, makin dalam kulukai jiwaku. Aku lagi-lagi terseret arus mimpi yang selu memintal namamu. Bergema dan bergema, menabuh genderang hati menyemai kembali cinta yang terkubur bisu.
Tak mau terpejam meski kantuk mengintip di setiap kedip mata. Rajutan memori yang tercipta malam ini, menghadirkan kenangan yang tak bisa dilukis dengan kata-kata. Terlalu dalam makna menghujam, terlalu mewah menerima anugerah terindah yang kau titipkan.
Tak mau rasanya aku meniadakan khas senyummu yang selalu mencetak rinduku. Meski serba bisu, bersembunyi dalam ketakutan. Mengapa aku tak pernah bis berhenti mencintaimu? Satu pertanyaan yang tak pernah mampu aku temukan jawabnya. Yang kutahu, aku bahagia bisa mencintaimu. Menyemai dan menenggelamkannya dalam peluh asa yang selalu menuju muara hatimu. Kalau pun aku harus terlelap, aku ingin terkulai di dadamu. Meski hanya dalam mimpi, aku rela.
Apa yang tersisa dari sebuah penantian semu? Ternyata hanya sepi yang memagut ruang kosong, menyeka peluh tanpa ada henti. Tapi entah mengapa tak jua sirna asa cinta yang meronta di batas pagi. Memungut embun yang berlomba membasahi bunga di petamanan. Ku ingin mengekor bintang, biar bisa kuterangi sudut hati yang merenggang rindu. Tak kuasa rasanya memikul beban cinta ini terlalu dalam. Merobek nestapa tanpa semilir janji terucap, sia-sia. Apakah gelisah ini masih tinggal di lubuk hatimu? Andai itu ada, akan kubangun jembatan untuk menyatukan sungai dengan samudera. Aku di sini masih setia dengan cintaku, setidaknya.
Selain mencintai, barangkali aku tak punya keahlian lain
Kau hadir, jelita
Dengan segala tingkah lugumu
Memasungku dalam gugusan asa baru, mengharap rindu menusukkan lagi. Boleh nggak aku kangen?
Di antara denyut malam yang menebar di setiap sudut jalan. Masuh bisa kucium aroma lelahmu. Tidurlah dalam timang desahmu, dalam pelukan doaku yang menyepuh segala penatmu.
Sekejap mata bening terpejam kubuai mimpi dalam ayunan manja menyusungnya untuk malammu. Sempurnalah bangunan tidurmu. Mengurai segalanya tentang bahagia.
Bila kau masih terjaga, bawalah anganmu menjelajah relung jiwa. Raihlah asa sampai lena membawamu dalam mimpi satu-satunya. Cinta yang bertahta dalam getar rindu di tiap jejaknya.
Pada diam, aku memapah gundah yang berarak gegabah. Pada sunyi,aku semadikan ingin yang berkelok berantakan. Pada seraut wajah, aku mencari getar yang antah berantah sembunyi di dadaku. Padamukah getar itu tertuju?
Di antara dua hati aku berdiri, kini. Memilah-milah dua wajah yang mencercah hatiku yang ditebas kebingungan. Mencari pijakan, memburu sandaran. Satu wajah telah kupatri dua musim dalam kalam jiwa. Menanah dalam lebur asa yang tersia-sia, tapi nyata.
Satu wajah lagi menjelma tiba-tiba. Di atas jenuh yang membisikkan kata-kata dan tanya. Mengurung hariku dalam serpihan senyum yang begitu langka. Lepas apa adanya. Mana yang harus kubela? Dua-duanya punya makna.
Serangkum bunga layu mendarat jatuh di tanah. Melepas kaitan dari tngkainya. Perlahan memudar ditebas sinar mentari. Luruh satu dalam warna tanah. Aku tercerabut dari akar cinta. Menyongsong wajah baru dalam semesta anganku. Dan ternyata, kudapati wajahmu tahu-tahu menjelma nyata di binar mataku. Aku jatuh cinta lagi!
Pada sebuah cerita, aku tenggelam dalam manismu di senja yang mulai mengatup. Merebahkan emosi dalam tatap ceriamu. Betapa dahaga ingin kuletupkan sejuta puisi keindahan untuk kenangan di seikat masa minggu ini. Merengkuhmu di timang matahari yang mulai menguning. Debarku tiba-tiba membuncah dalam ketuk manja pujangga merindu. Kudapati tawa sejujurnya di setiap detik entakan napasmu. Apakah ini sebuah pertanda yang mulai bisa kuraba di tengah sepi yang meku termangu, dan rindu.ng pasti, hadirmu membuatku termangu, dan rindu.
Tak kudengar ceria tawamu hari ini. Tak kulihat binar matamu menari-nari di tempas desir angin. Tak kudapati lugu sapamu menelusup di antara jiwaku yang meradang rindu. Di mana adamu? Di sini, aku sendiri di peraduan yang selalu menyulam kesepian. Mengunyah sebaris kenangan dalam cinta kita yang tercipta. Menyepuh waktu bersandar pada bayangmu semata. Aku rindu, sayang.
Jelaga matamu, menggugah tidurku. Rona pipi kemerahan menampar sendiriku. Mungkinkah adamu akan meniupkan jejak baru dalam sepiku? Aku masih meraba menara langit. Yang diam anggun terkulai di pelukan awan berarak.
Meletup sudah kangen yang kupelihara dalam jarak. Disaksikan puluhan mata, kugenggam jemari lentikmu dn kukecup bibirmu di sudut malam yang menawarkan mimpi nirwana bagi jiwa yang mendendam rindu. Inilah detik pengakuan. Bahagiaku melumat tanpa sisa lelahku. Bahagiaku menguras habis kangenku. Bahagiaku memilin seribu cinta dalam palung batinku. Bahagiaku, seutuhnya karena hadirmu.
Tak ada salahnya bukan, mendamba asa diayun ketiadaan. Hampa, mengulum adamu dalam pedih.
Satu-satu kujejak tanah berbatu. Mengekor tilas yang samar di tilam lusuh. Saatnya kah memasung getarku untuk satu nama lagi? Di tilam lusuh ini hanya ada gelisah hadir tiba-tiba. Memecah gerimis di keremangan senja yang beranjak gelap. Kenapa mesti ada jarak? Membuatku tersekat dari adamu. Sedang apa kau di sana? Mungkinkah di dadamu ada getar untuk sendiriku? Di sini, aku kangen dalam hiruk pikuk tawa yang melenyapkan suara gerimis. Menangis tak tertahan lajunya. Menukik tajam menjelma hujan.
Duhai saujan dalam tebar malam yang beringsut gelap. Aku terlalu rapuh untuk mengatakan aku ingin jatuh di pangkuanmu detik ini. Terlalu banyak debu berlapis sembilu. Menggores jejak kaki di kembara ini. Rapuhku menepikan inginku. Rapuhku melumat habis getar rindu yang mulai bisa kurajut lagi.
Tapi apa yang harus aku ingkari. Di ujung rapuhku, ternyata aku ingin berdiri, di sisimu. Di bahmu aku ingin bersandar. Di dadamu aku ingin rebah. Di matamu aku ingin menangis untuk kebahagiaan ini.
Duhai saujana dalam butir-butir mimpiku. Aku ingin menyebut namamu, sekali lagi, sebelum malam menyudahi lena ku nanti pagi.
Biarkan aku mendekap raga dan jiwamu mesti dalam jarak dan angan semata sampai akhirnya masa itu datang menuntunmu padaku untuk bertemu di satu cinta. Rasanya pertemuan kita yang tanpa rencana, tanpa rekayasa disaksikan pagi yang mulai basah oleh embun, meninggalkan jejak yang melilit bahagia. Di ujung sana, mulai bisa kulihat lagi rona wajahmu menyunggingkan senyum atas nama ketulusan. Di batas khayalku, aku mulai bisa menera getar yang kau titipkan lewat hangat jemarimu dan lembut kerling mata.
Mungkinkah aku bisa merengkuhmu, merdu dalam nyanyian alam yang mematikan hingga fajar menyingsing, selamanya? Sementara yang kutahu, engkau masih berada di rumah kaca dalam pelukan kokoh seorang Srikandi. Mungkinkah ilusi itu kan jadi nyata atau barangkali aku harus kembali diayun mimpi tak berkesudahan.
Duka di atas duka, berjalan beriringan dengan bahagia di atas bahagia. Tertatih aku berpijak mencari sandaran baru untuk cinta yang kuyakini. Setelah kepergianmu, pada apa an pada siapa kini aku ingin rebah dalam pelukan? Aku hanya bisa tepekur dalam iba dan doa. Bergulung watu bersamamu telah mengajarkanku tentang arti sebuah ladang. Tanah tandusnya akan menghijaukan daun dan bunga yang kutanam ketika mata air bisa kualirkan dari waktu ke waktu. Entah mata air dari pegunungan atau air mataku dan air matamu sendiri. Sampai kini, aku selalu percaya cintamu akan membuka dan membawa jalan untukku. Akan kukenang engkau mesti hanya bayang semu. Semoga kau hidup di antara seribu bintang yang bersinar. Akan kucari terus arti adamu dalam pengembaraan yang melelahkan ini. Semoga kau bahagia di sisi Tuhan dan tersenyum di surgaNya, kekasihku. Amin
Aku tak punya alasan untuk marah pada Tuhan
Seketika tatap mataku jatuh. Terkulai di pelukan rindu pada pusara dan batu nisan yang bisu tak bersuara. Menanar terantuk wajahmu yang hanya bisa kucipta dalam angan. Aku mengais pilu dalam birunya rindu yang menusuk tanpa henti. Tiadalah sesal mengusikku, hanya gelisah merampas tawaku. Karenamu aku tak kuasa berlari. Karenamu aku masih ingin sendiri. Karenamu sedih ini tak jua pergi.
Ingin aku tenggelam detik ini. Hanyut dalam genangan air cintamu. Lepas tanpa kendali, menyapu seluruh raut wajahmu di beningnya pagi. Memantul pada kaca cermin, melukis rindu yang terus bernyanyi. Berkisah tentang hati yang tak henti menyepuh tiap kenangan yang tercipta. Sepenggal tawa membekas tak terkira, selusin kata menggores ribuan makna, sebuah bisikan melepuh dalam gita manja yang mematuk di telinga berulang ulang. Apa kabar arjuna penakluk jiwaku? Apakah kau bisa tertawa di sana? Aku selalu berdoa untukmu.
Apa yang bisa kuraba kini sementara sapaku membentur angin lalu. Berbalik ke arahku tanpa gema bahkan secuil tanda cintamu. Aku tak pernah berlari, melenggangkan kaki kala kutahu kau tak ada di sisiku. Andai saja masih ada waktu yang tersisa, sejenak saja, kau bisa menatap mataku yang selalu ingin mengagumi lembut wajahmu, lalu membenamkannya dalam dadaku. Mengapa ada jarak menyekat tatap? Mengapa ada bisu mengejap di setiap kedip mata? Biar saja karena aku yakin kau bisa melihatku dari dunia yang kau pijak, kini. Yang pasti, aku tak pernah lari, mencari jalan kebahagiaanku sendiri. Aku tetap ingin menjadi kekasih untukmu, kapan pun itu.
Apakah semua telah jadi abu? Hilang di balik lipatan kertas yang melukis segala cerita rindu dan cinta yang hilang. Terbang ditebas sebuah perpisahan. Berlalu di gulungan awan lantaran jarak tak lagi bisa diraih. Apakah semua telah jadi abu? Hanya puing yang tersisa. Terbang menyatu bersama debu. Menempel pada kayu-kayu lapuk. Menanti diusir angin. Pergi lagi entah ke mana.
Apakah semua telah jadi abu? Dan itu akhirnya. Jawabnya TIDAK, sayang. Setidaknya, sampai detik ini, aku telah mengukir nama dan cintamu dalam pengembaraan ini. Dan yang pasti bukan cinta biasa.
Apakah semua telah jadi abu kalau kenyataannya tak pernah hilang namamu dalam ingatan, dalam kenangan. Aku juga tak tahu mesti ke mana berlari mencari sandaran hati sementara kau lah juga muara jejakku yang kini tak bisa kusentuh dengan tangan lemahku. Apakah semua cerita cinta kini masih dalam ingatanmu, sayang? Aku yakin itu.
Rebah dalam tempias hujan senja. Mengatupkan mata sejenak di sudut cinta yang mengerang. Memanah hatimu, melukis rinduku. Apa kabar engkau salju di gersang saharaku? Aku pernah mematuk pilu, terkulai karenamu dengan cinta satu-satunya.
Lalu senyummu aku lihat lagi. Padamu kularutkan isi hati. Lalu binar-binar tawa menghias pagi. Saat mimpi tak membawa apa-apa selain lena belaka. Padamu kulukis pelangi. Padamu kurebah dalam angan mencarut, membelah bahagia yang perlahan hadir lagi. Lalu rindu kembali menuai maknanya yang tersembunyi. Padamu kucatutkan, padamu kutebar pandang untuk mengharamu lagi.
Seperti kuterlepas dari belenggu saat sapamu kembali terantuk pada dinding ruangan yang berpeluh oleh panas sedari siang. Mengapa selalu terjadi. Bisik suaramu menyisakan kenangan tak tergantikan. Berkerak di segala ruang kisi hati. Tak bisa kutolak, tak mampu kuhapus. Mengapa selalu terjadi. Kau pagut aku, terkulaiku lalu rindu menghujam tajam tak terperi. Bunga-bunga mekar bersemi dalam barisan mimpi surgawi. Aku tak mampu berlari. Aku jatuh cinta lagi.
Teruslah mendamba jika itu jalannya. Teruslah bermimpi jika itu selamanya yang akan membuat aku dan kau terjaga. Teruslah merindu jika itu padamu lukisan bahagia akan menjelma. Teruslah mencita jika itu damba yang kupinta dalam pintalan doa. Teruslah apa adanya jika damba, mimpi, rindu, dan cinta mengurung diri di singgasana luka. Tak apa, biarkan saja luka menganga jika sepi juga akhirnya yang jadi titiannya. Lalu biarkan segalanya terus mencari takdir jika itu yang harus menyudahi titiknya.
Mengapa tak jua beranjak pergi, benih cinta yang kupelihara terus bersemi mengurai padi di sawah kering. Menguning dalam tandus udara, terkelupas terik di siang menyala.
Di atas bangku besi malam ini, mengembara panjang dalam lebur angan yang tertatih ditikam nelangsa. Merajut serpihan-serpihan cerita yang kutemui saat lepas bebas menghujamkan mata dan hati pad jiwamu. Masih lama, lugu mengemuka, sederhana mengertak gulita. Ah, sesekali canda malu menggoda tanganku. Gemas ingin mendaratkan cubitan sayang berulang kali.
Tiada apa yang kubela pada malam yang sepi ini, selain menghanyutkan segala inginku padamu. Tak peduli sekian masa membawaku dalam penantian semu. Berkejaran dengan ketidakpastian. Padahal, ketidakpastian adalah satu hal yang paling buruk dalam logika penantian. Tapi tak apa juga itu harus terjadi. Mungkin itulah jalan yang harus kudedah di setiap luka. Hingga aku makin tersadar, kau lah satu-satunya yang bisa membuatku terluka. Pedih dan perih terbawa serta. Tapi entah mengapa aku tetap cinta.
Cinta tak pernah menyakiti. Ia hanya tahu sayang dan kasih yang bermuara pada satu kata bahagia. Bila cinta menghampiri pintu hatimu, ikutilah ia mesti kadang pedih menghadang di depan mata. Tak perlu juga tangis mengiring sepanjang malam, apalagi membuat hati beku dalam kubangan es tersia-sia. Cinta bicara dengan bahasanya sendiri. Luka yang tergores, duka yang bertahta, tak lebih dari bahasa cinta itu sendiri melakukan pengejawantahannya. Ia yang akan membawamu menuju pelaminan suci. Di sana telah bersemayam hati yang fitri, hati yang ditasbihkan.
Menunggu itu sangat membosankan, bahkan mengesalkan. Tapi setiap waktu, kita memang harus menungu, ternyata.
Maafkan jika aku tak mampu lagi menyembunyikan perasaan ini. Maafkan jika aku selalu ingin menyemayamkan wajahmu dalam asa yang tak henti membasuh sepiku. Maafkan jika aku selalu menyulam benang rindu di setiap jejak yang kupijak. Seperti malam ini, maafkan jika aku tak mampu menahan rindu yang bergejolak hingga mata ini enggan berkedip sampai bisa kubingkai indah matamu dalam benakku.
Untuk satu cinta yang kubela dan kuyakini, biarlah aku lebur hancur dalam penantian yang tak berujung. Apalah artinya masa yang terlewati, jika semuanya menuju padamu. Sudah tak ada bedanya mana luka mana bahagia. Bagiku dua-duanya menyimpan maknanya sendiri. Luka tak selamanya bertabur senyum. Luka karena mencintaimu adalah bahagia yang kusyukuri. Betapa agung karunia ini. Tak pernah aku merasa sia-sia mendambamu. Berharap suatu saat akan datang sebuah masa, kau membuka tanganmu untuk kurengkuh. Meskipun mungkin masa itu hanya sehari bahkan sedetik, aku rela. Bisa mencintaimu saja cukuplah bagiku. Karena kau telah menjadikanku sebagai manusia yang punya hati.
Lihatlah ke luar jendela. Jika dahan mengayun perlahan ditiup angin, lalu yakinlah orang yang kau cintai akan mencintaimu juga.
Bukalah telingamu. Jika kau mendengar detak jantungmu, lalu yakinlah orang yang kau cintai akan mencintaimu juga.
Tutuplah matamu. Jika ada senyum terukir di bibirmu, lalu yakinlah orang yang kau cintai akan mencintaimu juga.
Masuklah dalam hujan. Meskipun aku berpayung, aku bukanlah satu-satunya yang kebasahan. Masuklah dalam cinta, meskipun aku mencintai, aku bukanlah satu-satunya yang terhempas.